Rabu, Agustus 20, 2008

Peran strategi keluarga batih dalam pendewasaan anak

Tulisan ini merupakan materi ceramah Bapak Syamsul Bahri Tanrere dari Forum Penimarka pada ceramah psikologi yang diadakan oleh DWP KJRI Hong Kong bekerja sama dengan Fungsi Tenaga Kerja KJRI Hong Kong pada tanggal 21 Juli 2008 di Ruang Ramayana KJRI Hong Kong.

Terdapat beberapa teori tentang apa yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, bawaan lahir ataukah lingkungan. Bagi kaum natives, bawaanlah yang menentukan perjalanan hidup manusia. Sementara kaum empiris beranggapan bahwa lingkunganlah yang membentuk kehidupan. Kaum behaviorisme yang dikenal luas dalam psikologi meyakini yang terakhir ini. Teori moderat, convergensi, memadukan kedua pandangan tersebut di atas.

Pengaruh orangtua terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak tak dapat disangkal. Karena itu faktor pola asuh orangtua dan keluarga yang ada di sekitar anak sangat penting. Kita mengenal ada tiga model pola asuh orangtua: Pertama, pola otoriter, segala sesuatu yang berkaitan dengan anak ditentukan sepenuhnya oleh orangtua. Anak sama sekali tidak terlibat pada apa yang menjadi minat dan harapannya sendiri karena orangtua telah mengambil alih seluruhnya. Ciri utamanya adalah komunikasi searah dalam bentuk instruksi. Kedua, pola demokratis, anak diajak bersama-sama dalam menentukan berbagai hal menyangkut anak. Di sini anak merasa dihargai karena diajak terlibat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan anak sendiri. Ketiga, pola permisif, kebalikan dari otoriter. Segala sesuatu diserahkan kepada anak, orangtua tinggal mengiyakan saja apa pun yang dikehendaki oleh anak. Tampaknya ketiga pola asuh ini harus dipadukan. Dalam hal yang sifatnya prinsip, terutama hal yang menyangkut aqidah orangtua harus otoriter. Sedangkan hal-hal yang menyangkut hak-hak anak, menyangkut kehidupan masa depan, pendidikan, maka pola demokratis bisa ditempuh. Tetapi dalam hal hobi selama tidak mengganggu aktivitas ibadahnya, ditempuh pola permisif.

Orangtua adalah lingkungan sosial pertama yang ditemui oleh anak dalam dunia nyata. Apa yang dialami bersama keluarga terutama yang berulang-ulang itulah yang secara pelan-pelan diserap menjadi suatu kebiasaan sehari-hari, bagaimana cara bersikap, bertutur kata, bertingkah laku dalam berbagai kesempatan. Orangtua, terutama ibu, merupakan sekolah pertama bagi anak, banyak sikap dan tingkah laku keseharian kita mengkristal melalui imitasi dari lingkungan di mana kita hidup. Orangtua, keluarga, dan masyarakat sebagian mengajari kita sejak kecil ungkapan, sikap, dan perilaku seperti demikian. Itu sebabnya peran keluarga batih sangat penting dalam pembentukan perwatakan anak sejak ia dapat berinteraksi denan lingkungannya sampai mencapai usia dewasa. Kurt Lewin beranggapan bahwa kepribadian kita dibentuk oleh bawaan dan lingkungan (alam maupun sosial). Untuk lingkungan sosial orang tua yang pertama-tama memberikan andil, kemudian teman sebaya (peer groups) baik pada teman sepermainan di lingkungan rumah maupun teman sekolah.

Pembiasaan-pembiasaan merupakan cara untuk mengkristalisasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan. Ada tiga tahapan yang dilalui untuk menginternalisasikan nilai-nilai pada anak:

  1. Tahap compliance, yaitu tahap pembiasaan pada kebaikan, kepatuhan pada kebenaran. Kebiasaan-kebiasaan baik dalam tindakan dan ucapan semisal terima kasih, maaf, tolong, silakan, dan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran harus muncul bahkan bermula dari keluarga di rumah serta guru di sekolah. Di sini juga harus berlaku ganjaran dan hukuman (reward & punishment, targīb & tarhīb).
  2. Tahap identifikasi, yaitu anak mulai mengidentifikasi dirinya dengan kebaikan serta pelaku kebaikan. Misalnya, ketika anak melihat sesuatu yang kotor lalu mengatakan, “ih… jorok.” Terdapat rasa senang terhadap sesuatu yang telah dibiasakan padanya dan berusaha untuk menerima hal tersebut sebagai sesuatu keniscayaan.
  3. Tahap kristalisasi nilai-nilai, yaitu tahap akhir yang dituju di dalam pembentukan karakter, yaitu ketika anak sudah menjadikan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran itu sebagai bagian dalam kehidupannya.

Pembiasaan-pembiasaan itu harus dimulai dari hal-hal sederhana di lingkungan anak. Misalnya, mencontohkan minum (aqua gelas) tanpa menyisakan isinya untuk tidak mubazir (QS. 17:27), mengetuk pintu kamar anak dan mengucapkan salam sebelum masuk (QS. 24:58), tidak masuk ke rumah orang tanpa izin/salam (QS. 24/27), altruisik atau ringan tangan dan terbiasa membantu sesama (QS. 5:2), bergeser ketika ada orang memerlukan tempat duduk atau menepi ke jalur kiri kalau ada orang yang meminta menyalip kendaraan kita (QS. 58:11), menghindari berbagai aktivitas yang tak bermanfaat (QS. 23:3), dst.

Peran strategis orangtua dalam mengantarkan anak menuju ke kedewasaannya dikaitkan dengan karakter bangsa antara lain:

1. Sebagai fasilitator

Manusia adalah makhluk yang diciptakan sangat lemah jika dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Oleh karena itu, orangtua harus aktif memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan anak, memberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara optimal dalam suasana yang menyenangkan, sehingga ia mampu mengaktualisasikan potensi-potensi yang dimilikinya agar berguna untuk diri dan lingkungan sosialnya. Pembangunan sumber daya manusia dimulai dari pemahaman dan kemauan orang dewasa, terutama orangtua, untuk memfasilitasi agar potensi-potensi anak manusia berkembang secara wajar. Dalam hal ini, perhatian orangtua dalam memenuhi kebutuhan fisik dan mental anak sangat penting secara berimbang.

2. Sebagai edukator

Tidak diragukan lagi peran strategis orangtua dalam mendidik dan membentuk watak anak-anaknya. Menanamkan aqidah dan akhlak sejak dini, membekali keterampilan hidup (life skills), hingga ilmu pengetahuan dan teknologi, dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sistem pendidikan klasikal di sekolah-sekolah formal hanya memberikan pelayanan standar (rata-rata) bagi semua anak, padahal kita tahu semua anak bersifat unique. Unik bermakna tidak ada dua individu yang sama persis, memiliki kecerdasan berbeda-beda. Orangtua hendaknya mencermati potensi kecerdasan yang dimiliki putra-putranya agar anak dapat mewujudkan potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal.

3. Sebagai motivator

Motivasi umumnya diklasifikasi menjadi intrinsic motivation dan extrinsic motivation. Orangtua diharapkan menumbuhkan motivasi intrinsik yang muncul dari dalam diri anak untuk mau berprestasi, beribadah, maju bersaing secara sehat, dan hal-hal baik lainnya. Untuk merangsang hal tersebut orangtua hendaknya memberi apresiasi setiap kali anak melakukan suatu kebaikan yang diharapkan. Apresiasi ini menjadi penguat (reinforcement) terhadap tindakan kebaikan berikutnya. Thorndike dengan ‘law of effect’-nya meyakini bahwa sesuatu yang menyenangkan cenderung diulang pada kesempatan lain. Memuji anak ketika melakukan sesuatu kebaikan lebih berharga daripada menghukum karena suatu kesalahan. Jika orangtua dan keluarga batih menunjukkan prestasi dalam kehidupannya dari kerja keras yang dilakukan dapat menjadi motivasi intrinsik bagi anak.

4. Sebagai konselor/problem solver

Perjalanan hidup manusia bergerak dinamis mengalami tahapan-tahapan dari bayi, anak, hingga lanjut usia atau meninggal dunia. Dalam fase perkembangan itu manusia berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosial yang boleh jadi mengalami berbagai masalah. Masalah itu ada yang bisa diatasi dan ada pula yang sulit, memerlukan konseling dari orang lain yang lebih tahu dan lebih pengalaman. Di masa-masa kritis perkembangan kehidupan diperlukan adanya penasihat yang bijak agar semua masalah yang dihadapi anak bisa dilalui tanpa gejolak yang berarti dan berkepanjangan. Sebagai konselor/problem solver bukan berarti orangtua mengambil alih dan menyelesaikan semua persoalan anak. Akan tetapi, cukup memberi berbagai alternatif pemecahan masalah dengan kemungkinan konsekuensinya lalu membiarkan mereka memilih alternatif yang paling baik menurut mereka.

5. Sebagai teladan/model

Tidak dapat disangkal bahwa anak pada awal-awal pertumbuhannya akan meniru apa saja yang diperoleh dari lingkungannya. Anak-anak di Perancis mahir berbahasa Perancis atau di Ciamis berbahasa Sunda karena imitasi. Bahkan ibadah yang dilakukan pada awalnya karena imitasi. Memang diakui bahwa manusia membawa insting sejak lahir tetapi kemudian diperkaya melalui interaksi dengan lingkungan. Dari kecil anak bisa menangis dan tertawa, tanpa kursus terlebih dahulu, tapi bagaimana dan kapan kita harus menangis dan tertawa ternyata kita peroleh dari lingkungan (pendidikan maupun pengalaman). Bersikap, bertutur kata, bertingkah laku di hadapan anak menjadi media pembelajaran yang efektif bagi anak. Jika yang tampil dalam pergaulan sehari-hari tutur kata yang lembut maka anak akan menirunya seperti itu ketika bertutur dengan orang lain. Sebagai model orangtua berupaya untuk menunjukkan model sikap, tutur kata, dan tingkah laku yang tepat dalam berbagai situasi kehidupan.

6. Sebagai teman

Anak adalah teman bermain, bercengkerama, bercanda, main tebak-tebakan, bertanding walau kadang-kadang orangtua harus sengaja bermain kalah dengan anaknya. Sebagai teman harus setia saling mendengarkan cerita, perasaan, pendapat, apa pun isinya. Mendampingi anak ketika dalam suasana hati mereka yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Orangtua harus bisa menempatkan diri sebagai teman dalam obrolan berbagai tema seputar dunia anak. Khazanah anak dimunculkan dalam ungkapan atau cerita sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa yang dimiliki oleh anak-anak. Orangtua berfungsi sebagai teman juga menjadi wahana penting untuk melatih keterbukaan anak terhadap apa saja yang dipikirkan, dirasakan, dan diinginkan.

7. Sebagai negosiator

Orangtua kadang-kadang harus bertindak sebagai negosiator ulung dalam melakukan tawar-menawar dengan anak, terutama anak-anak yang sudah beranjak remaja. Pola asuh otoriter hanya akan menimbulkan berbagai ketegangan dalam diri anak, bahkan dapat menimbulkan pembusukan potensi-potensi yang dimilikinya. Anak sebagai anak kadang kala juga memiliki keinginan-keinginan yang menurut orangtua kurang pantas. Banyak sekali aktivitas anak yang memerlukan negosiasi orangtua. Pukul berapa sudah harus di rumah setelah jalan-jalan dengan teman di hari libur adalah contoh kecil wilayah yang bisa dinegosiasikan.

Dalam kehidupan keluarga kita menemukan pola-pola umum yang dilakukan orangtua dalam berinteraksi dengan anak, baik yang positif maupun yang negatif. Yang positif tentu banyak sekali, bukan pada tempatnya untuk menguraikannya di sini. Akan tetapi beberapa di antaranya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif bagi pembentukan karakter bangsa yang negatif, untuk dihindari dalam interaksi dengan anak, antara lain:

1. Pendekatan punishment

Dalam keseharian pendekatan hubungan yang dilakukan orangtua di rumah, bos di tempat kerja, bahkan guru di sekolah pada umumnya adalah mendahulukan punishment daripada reward. Cermatilah misalnya guru ketika masuk kelas, yang pertama ditanyakan adalah siap yang tidak hadir, yang tidak mengerjakan tugas, dan sejenisnya. Pernahkah guru, misalnya, memberi apresiasi kepada muridnya yang datang lebih awal sebelum bel berbunyi? Di rumah sama saja. Orangtua lebih banyak menghukum, mencela, mengomel, daripada memberi pujian, ganjaran positif, memberi semangat. Sebuah penelitian Jack Canfield tentang frekuensi orangtua mencela dan berkomentar negatif kepada anaknya daripada memberi pujian dan berkomentar positif. Ia menemukan rata-rata 75 kali (positif) dan 460 kali (negatif) per hari. Dalam teks keagamaan sebenarnya indikasi pendekatan targīb (reward) didahulukan dibanding dengan pendekatan tarhīb (punishment). Ditemukan banyak teks hadis yang mendukung hal ini, misalnya perintah melakukan tabsyir dan larangan menakut-nakuti sehingga orang lari (lā tunaffirū), atau bahwa rahmat Allah selalu mendahului amarahnya (inna rahmatī sabaqat gadabī) niat dan berbuat baik mendapat indeks pahala lebih besar daripada indeks dosa berniat dan berbuat buruk. (Baca juga: QS. 7:156, 40:7.)

2. Kelangkaan komunikasi dan silaturahim

Banyak anak yang dicap bandel oleh orangtuanya padahal sejatinya hanya ingin perhatian. Salah satu kebutuhan manusia ingin afiliasi, perhatian, disayangi dan menyayangi, ditanggapi, dihargai, dan perasaan itu tumbuh dari sejak kecil. Banyak orangtua ketika anaknya sedang asyik bermain dibiarkan dalam kesendirian tanpa sapaan (silaturahim), tapi ketika anak memecahkan keramik, berteriak-teriak, atau mengganggu adiknya barulah ibu bangkit dan nyerocos ngomong kepada anaknya. Si anak kemudian mengetahui kalau dia ‘bandel’ ia diperhatikan oleh ibunya. Alangkah baiknya, jika dalam berbagai kondisi orangtua senantiasa berkomunikasi dengan anaknya. Bahkan terhadap bayi sekalipun orangtua dianjurkan untuk terus berkomunikasi walaupun mungkin tanpa tanggapan verbal kecuali tatapan mata. Bermain mobil-mobilan bersama anak, apalagi membangkitkan kreativitas melalui perakitan mobil-mobilan dari barang-barang bekas, sangat disenangi anak-anak dan berpengaruh positif pada perkembangan kreativitas mereka.

3. Terbiasa menghitung untuk sebuah instruksi

Pernahkan Anda mendengar seorang ibu berseru kepada anaknya: “Iiih… Berhenti! Ibu hitung sampai sepuluh. Awas ya! 1… 2… 3…” dst. Perintah atau larangan dengan cara seperti ini akan membuat anak tidak tanggap, tidak reaktif (dalam arti positif) karena terbiasa menunggu sampai hitungan mendekati sepuluh, belum lagi jika ada sembilan seperempat, sembilan setengah…, dst. Oleh karena itu, kalaupun harus menggunakan hitungan sebaiknya sampai hitungan tiga saja.

4. Membungkam keingintahuan (curiosity) dan kreativitas

Anak-anak adalah makhluk yang memiliki keingintahuan yang tinggi. Hanya sayang sering kali keingintahuan ini dibungkam dan dikerdilkan oleh keluarga batih di rumah. Anak disuruh duduk manis dan diam tanpa boleh banyak bertanya tentang hal-hal yang menarik perhatian di sekelilingnya, apalagi yang dianggap tabu oleh orangtua. Keingintahuan anak oleh banyak orangtua, terutama di pedesaan, dijawab dengan telunjuk di depan bibir, pelototan mata, bentakan, bahkan cacian dan cubitan! Kadang-kadang hanya karena faktor malu kepada orang lain karena memiliki anak yang banyak tanya. Padahal kita tahu bahwa bertanya itu adalah sumber pengetahuan. Sementara itu, faktor yang menjadi faktor keberhasilan pendidikan anak di Indonesia adalah kepatuhan. Berdasarkan penelitian Utami Munandar masyarakat Indonesia sangat mementingkan kepatuhan, bahkan terhadap sesuatu yang belum diketahui benar atau salah. Kepatuhan tentu sangat baik jika hal itu berkenaan dengan nilai-nilai kebenaran ajaran agama yang memang menghendaki sam’an wa thaatan. Tetapi menyangkut budaya manusia, kreativitas, dan berpikir divergen diperlukan untuk menambah khazanah, nilai, dan keanekaan cara dalam memperbaiki dan menyejahterakan kehidupan umat manusia.

5. Kurang perhatian dan penghargaan

Masyarakat kita di Indonesia umumnya tidak terbiasa menyampaikan terima kasih kepada anak yang melalukan suatu kebaikan bahkan jika telah membantu orang dewasa. Padahal anak adalah manusia yang sangat butuh perhatian dan penghargaan. Apresiasi yang diberikan ketika anak melakukan suatu kebaikan akan menjadi perangsang untuk terus melakukan kebaikan-kebaikan berikutnya. Ada empat kata ajaib untuk penghargaan yang terus harus bersama dengan kita dalam berkomunikasi: terima kasih, maaf, tolong, dan silakan. Tetapi sayang, keempat kata ini mumnya tidak muncul dalam komunikasi keluarga batih dengan anak yang ada di lingkungannya, sehingga pekerjaan atau kebaikan yang dilakukan anak seolah-olah hanya tugas yang membebankan tanpa apresiasi dari orang yang menuntutnya melakukan sesuatu.

Hal lain yang sering terjadi adalah tak adanya apresiasi yang mampu memotivasi anak ketika mereka kurang menunjukkan prestasi dalam pelajaran sekolah. Begitu anak dapat nilai merah, orang tua langsung mencak-mencak memarahi anak, bahkan kadang-kadang denga corporal punishment (hukuman fisik) . Situasi seperti ini membuat anak tidak jujur. Begitu dia dapat merah berikutnya akan dia sembunyikan atau buang ke tong sampah, hanya nilai bagus yang ditunjukkan. Nilai merah tidak harus membuat orangtua kebakaran jenggot, tetapi dengan perhatian dan kesungguhan untuk membantu prestasi lebih baik. Begitu ada kemajuan (meskipun masih merah dari 4 ke 5, misalnya, maka apresiasi pun harus ia dapatkan.

Tidak ada komentar: